Kamis, 25 Februari 2010

Kisah Air

Sudah saatnya musim berpindah menuju musim penghujan, namun kenyataan berkata lain: sinar matahari yang hangat tetap menyapa bumi setiap saat. Sementara kolam-kolam air sudah tidak sabar menunggu pasokan air melimpah yang mampu memenuhi rongga-rongga mereka. Kolam air yang sebelumnya masih cukup untuk membasahi sampai lutut manusia dewasa, kini hanya mampu menyentuh mata kaki. Ruang gerak kuman-kuman, plankton, kepiting, udang, dan ikan-ikan kecil semakin terbatas. Walaupun mereka mengalami masa-masa sulit, namun mereka tetap bersyukur, setidaknya masih ada ruang gerak untuk mereka. Ikan-ikan yang lebih besar telah berubah menjadi fosil karena tak cukup air untuk mereka.
Malam itu, doa makhluk-makhluk air dikabulkan oleh Tuhan. Matahari yang begitu terik memanggang bumi, menguapkan air-air dari lautan dan dari sumber-sumber air lain yang masih menggenang. Segumpal awan hitam pekat melayang di langit, membawa butiran air yang telah ditunggu oleh segenap makhluk di bumi. Diawali dengan guntur dan petir yang bersahutan, hujan perlahan-lahan turun. Kemudian dengan cepat berubah menjadi hujan yang sangat lebat untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Makhluk-makhluk di bumi bersuka cita, dari ikan, plankton, kepiting hingga rumput kecil yang pada hari sebelumnya telah merasa bahwa malam ini adalah malam terakhir baginya berada di bumi dan menikmati sinar matahari yang begitu terik. Bau tanah yang tersentuh oleh air hujan untuk pertama kali benar-benar membuat makhluk hidup merasa nyaman.
Perasaan suka cita yang ditunjukkan oleh semua makhluk di bumi ternyata tidak ditunjukkan oleh manusia. Pada awalnya mereka menyambutnya dengan perasaan yang sangat gembira, melebihi makhluk manapun di bumi. Namun, hujan yang tak kunjung berhenti membuat mereka was-was. Saat ini lingkungan mereka sudah tak seperti sedia kala. Pohon-pohon yang berdiri tak mampu menyerap air, karena pohon-pohon yang menjulang tersebut terbuat dari besi, beton, dan semen. Begitu juga alas mereka, telah berubah menjadi tanah hitam yang sangat keras yang tak mampu menyerap air.
Manusia-manusia yang hidup di peradaban yang modern tersebut hanya bisa berharap bahwa hujan akan segera berhenti. Namun harapan tinggal harapan, karena awan hitam yang menggantung di langit masih mempunyai stok air yang melimpah.
Hasilnya, banjir pun terjadi. Namun terjadi perbedaan pada banjir di desa dan di kota. Banjir di desa disambut dengan gembira oleh para makhluk hidup di sekitar sungai ataupun kolam-kolam. Banjir yang datang dari hulu sungai mengalir tetap pada jalurnya, yang telah terbentuk secara alami sejak bertahun-tahun lampau, sehingga tak mengganggu manusia yang ada di sekitarnya. Walaupun airnya kotor karena bercampur dengan lumpur, namun air kotor tersebut mampu membawa kehidupan kembali di habitat sungai dan kolam, serta memberi pasokan makanan pada tumbuh-tumbuhan. Banjir di kota tidaklah seperti itu. Walaupun airnya bening, namun membawa kesusahan bagi manusia-manusia, karena banjir tersebut tidak mengalir. Menggenangi seluruh kota berdasarkan jalur aspal yang ada di seluruh penjuru kota. Motor, mobil, dan kendaraan lain tak bisa melaju. Jalanan yang seharusnya milik kendaraan-kendaraan bermotor, telah diambil alih oleh alam.
Walaupun akhirnya hujan tersebut berhenti, namun cukup memberi harapan pada makhluk-makhluk yang berharap akan datangnya hujan. Ikan-ikan kecil beserta makhluk lain yang menghuni kolam kini bisa berenang dengan bebas, tak perlu memikirkan apapun. Banjir pun mulai surut, dan mengendapkan material-material yang turut terbawa pada saat air menempuh perjalanan menuju hilir. Dan dengan berakhirnya proses pengendapan tersebut, air berubah menjadi biru, pantulan dari langit yang cerah. Namun, banjir di tempat lain belumlah surut, karena sistem drainase yang buruk menyebabkan air menggenang, menjadi media bagi nyamuk-nyamuk untuk menetaskan telur mereka, yang kemudian menyebarkan wabah penyakit bagi manusia.
Kisah air di dua tempat yang berbeda dalam satu dunia yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar