Kamis, 25 Februari 2010

Kisah Burung

Suara gaduh terdengar dari kedalaman hutan yang selama berpuluh-puluh tahun tak seorangpun berani memasukinya. Sekedar memunguti ranting-ranting di bibir hutan pun, orang-orang akan berpikir berkali-kali sebelum membulatkan tekadnya itu. Jikalau beranipun, pada malam harinya orang tersebut tak akan bisa tidur nyenyak.
Memang, reputasi hutan tersebut sangat tersohor. Sejak jaman dahulu kala ketika tanah jawa masih berganti-ganti penguasa, dari yang tertua Salakanagara sampai yang termuda Mataram Islam, hutan yang membentang luas di sebagian besar wilayah pulau jawa itu, merupakan sarang dari berbagai macam binatang buas, segala jenis penjahat – dari garong, begal, kecu, perampok – sampai tempat yang nyaman bagi lelembut.
Pepohonan raksasa berumur ratusan tahun masih banyak ditemui. Pohon-pohon itu seperti kepala suku yang memimpin pepohonan lain yang lebih kecil, mengayomi tatkala matahari bersinar terlalu terik, mencegah air hujan agar tak menggenangi tanah, sampai berdiri paling gagah ketika badai menerpa, melindungi yang lebih kecil agar tak terbawa angin. Ia juga menjadi tempat tinggal bagi bermacam-macam hewan yang membangun sarang pada ranting-rantingnya.
***
Truk-truk besar silih berganti keluar masuk hutan angker itu. Mereka mengangkut kayu-kayu gelondongan. Hutan yang dulu setiap pagi selalu tertutup kabut, kini tak hanya pagi namun sepanjang hari, selalu berselimutkan asap hitam beracun. Hanya karena masih banyaknya pepohonanlah, asap beracun tersebut masih dapat dinetralkan. Manusia-manusia kini tak takut dengan segala binatang-binatang buas, ataupun penjahat yang bersembunyi di hutan itu karena di tangan mereka terdapat sebuah senapan yang mampu mereka gunakan sewaktu-waktu.
Dahulu, orang-orang akan diam tak bergerak ketika mereka melihat seekor harimau, dan mereka akan bergumam, “Wah, kyaine sedang lewat”, sembari berharap harimau itu akan berlalu begitu saja. Atau, jika mereka melihat ular, mereka akan bergumam, “Wah, ada oyot”. Tetapi mereka kini lebih santai, hanya menggerakkan jari telunjuk, mereka mampu membunuh. Benar-benar hebat!
Deru mesin-mesin terdengar sangat keras, mengalahkan raungan harimau-harimau yang dahulu adalah penguasa tunggal di hutan. Postur truk-truk yang besar mengalahkan gajah-gajah yang dahulu merupakan hewan terbesar di hutan. Dan seketika, sebuah jalan telah terbentuk sebagai akses ke dalam hutan, yang selanjutnya truk-truk besar itu akan keluar membawa gelondongan kayu-kayu besar di punggung mereka.
Pepohonan besar yang semakin menipis membuat penguasa langit, elang yang perkasa kehilangan tempat tinggal mereka, dan sulit mencari pengganti yang sesuai. Orang-orang yang membawa kayu-kayu tak mau meninggalkan benda-benda yang menghasilkan keuntungan. Mereka membawa emas putih atau gading gajah yang bernilai sangat tinggi. Juga kulit harimau loreng, yang dulu mereka takuti. Lambat laun populasi hewan-hewan semakin berkurang, ekosistem hutan itu menjadi berantakan. Seekor burung kecil memandang desanya dengan prihatin. Ia kehilangan sarang yang ia buat di ranting pohon randu alas, yang telah ditebang oleh manusia. Ia hanya terbang kesana-kemari, mencari makan, kemudian tidur di sembarang tempat. Ketika hujan, bulunya basah kuyup yang kemudian membuatnya menggigil…

Lama-kelamaan manusia-manusia itu semakin beringas. Mereka tak hanya memburu gajah, harimau, namun mulai membunuhi kijang, yang mereka ambil tanduk mereka yang indah. Dalam sekejap hutan lebat itu telah terlihat seperti lapangan ajang pembantaian. Pepohonan dan hewan-hewan dieksekusi tanpa diberi hak untuk membela diri. Tak ada pepohonan setinggi satu atau dua meter, hanya rerumputan yang susah payah tumbuh setelah tertimbun tanah. Tak ada kyai yang lewat atau oyot lagi, semua telah habis. Dari yang terbesar sampai terkecil, semua telah menghilang.
Si burung yang kehilangan sarang, perlahan terbang di atas truk-truk dan berkali-kali melintas di atas orang-orang bersenjata itu. Ia berharap sebuah peluru menembus tubuhnya, agar ia bisa berkumpul dengan kawan-kawannya yang telah mati. Namun ia tak berhasil menggoda orang-orang itu. Ia terlalu kecil untuk dianggap sebagai ancaman. Ia terlalu buruk untuk dijadikan sebagai barang dagangan. Usahanya tak membuahkan hasil apapun. Kemudian ia hinggap di sebuah pohon kecil, salah satu yang masih tersisa. Dengan pandangan penuh kebencian ia menatap orang-orang itu.
Nyala mesin truk yang tiba-tiba membuatnya kaget dan terbang menjauhi tempat itu. Ia kesulitan bernafas ketika segumpal asap hitam menerpa tubuhnya dan masuk ke dalam tubuhnya. Ia terbang semakin tinggi, berharap dapat menemukan udara yang lebih segar.

Secara tak sengaja, burung kecil itu melihat sebuah pohon yang masih segar. Karena berada di seberang sungai, pohon itu selamat dari amukan gergaji mesin dan manusia-manusia tamak yang tak pernah puas dengan apa yang telah mereka dapatkan. Dengan cepat ia menuju ke pohon segar itu, hinggap dan menghirup udara segar yang telah lama ia harapkan. Kemudian ia segera mengumpulkan ranting-ranting kecil dan mulai membuat sarang baru. Dan di tempat itu ia mempunyai tetangga, si kumbang, tupai, dan berbagai jenis serangga lain. Tak membutuhkan waktu lama baginya menyelesaikan sarangnya.
Malam harinya burung kecil itu tidur di sarang barunya yang hangat. Ia tidur nyenyak, sampai-sampai hujan yang sangat lebat pun tak ia hiraukan.
Hujan yang sangat lebat itu membawa banjir bandang yang sangat besar. Ketika melewati hutan gundul itu, beberapa truk yang masih tertinggal hanyut terbawa arus. Banjir tersebut menenggelamkan apa yang ada di depannya, termasuk burung kecil yang baru saja mempunyai rumah dan tetangga baru…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar