Selasa, 02 Maret 2010

Kisah dari Kampung


Suara seruling seorang bocah dari atas kerbaunya
Yang mencari rerumputan segar di bawah pohon yang rindang
Menyuarakan senandung lugu seorang anak dari kampung
Angin semilir yang berhembus menggoyang tanaman padi yang menguning
Terlihat seperti permadani emas di atas lantai berwarna hijau

Anak-anak yang bermain riang di bawah sinar rembulan purnama
Berkejaran tak mempedulikan gelapnya cahaya yang turun
Bahkan pada hantu pun tak mereka pedulikan
Karena mereka hanyalah anak-anak lugu dari kampung
Yang tak tahu persoalan-persoalan penuh tipu muslihat dan intrik

Sungai jernih yang dalamnya hampir 3 meter
Berloncatan dari tebing yang menjulang di atasnya
Segerombolan anak-anak yang tak kenal takut
Ya, mereka tak takut akan hal itu
Karena mereka hanyalah anak-anak kampung, yang selalu
Mendapat nasihat dari para orangtua mereka
Agar selalu dekat dengan alam

Alam adalah sahabat manusia
Itulah yang selalu mereka katakan pada anak-anak mereka
Karena mereka orang-orang kampung, mereka hanya tahu
Jika penguasa alam marah, maka musnahlah manusia…

Senin, 01 Maret 2010

Kisah Bulan

Orang-orang memanggilku Bulan. Sedangkan orang-orang pada masa lampau menganggapku sebagai Dewi Kecantikan, atau Aphrodite. Memang, ketika langit malam tak tertutup oleh mendung, diriku laksana sang Ratu dengan dikelilingi bintang-bintang kecil yang juga memancarkan cahaya mereka yang manis.
Dahulu aku sering melihat penduduk bumi berbaring di rerumputan yang hangat - sisa-sisa panas dari pancaran sinar sang Pangeranku – sembari mengagumi keindahan pancaran cahayaku yang lembut. Mereka menjulurkan tangannya, seakan-akan ingin menggenggamku dan mendekatkanku ke dada mereka.
Ketika Bulan Purnama – sebutan bagiku ketika diriku berujud lingkaran sempurna – anak-anak sering bermain di bawah basuhan cahayaku. Mereka tak mempedulikan gelapnya malam, karena cahayaku membantu mereka melihat apa yang ada di sekitar mereka.
Pada masa ketika kami – Bumi, matahari, dan diriku – masih muda, kami merupakan sahabat yang dekat, walaupun terpisah beberapa juta jarak. Bumi yang berwarna biru dan hijau, melambangkan kehidupan dan keindahan. Matahari yang merah, melambangkan keberanian. Sedangkan diriku, Bulan yang berwarna kuning gading, melambangkan cinta kasih. Kadang aku iri dengan bumi, yang mampu menumbuhkan segala jenis pepohonan, dengan segala isinya. Kadang akupun iri dengan Matahari, yang dengan sangat kuat memancarkan sinarnya yang membantu pepohonan di bumi berkembang. Saat itu aku merasa bahwa diriku hanyalah suatu unsur yang tak berguna.
Tapi kini aku tak lagi iri pada mereka. Suatu kali, Bumi berkata padaku bahwa ia merasa sedih. Ketika kutanyakan sebabnya, sahabatku itu menjawab bahwa manusia yang seharusnya menjaga kelestarian bumi, malah menjarah segala isi bumi dengan rakus. Mereka menebangi pohon-pohon, menimbun sawah, kemudian menggantinya dengan bangunan besi dan beton. Tak ketinggalan, lautan pun bernasib sama. Ketika air mata bumi mengalir dari langit menuju kulit bumi, ia tak mampu menumbuhkan pohon-pohon besar itu lagi. Yang tersisa hanyalah rumput. Namun tak berlangsung lama, sebuah benda cair berwarna hitam menutupi permukaan bumi. Panjang bagaikan sungai. Sungai hitam.
Suatu ketika Matahari pun menceritakan kesedihannya. Ia bercerita bahwa ia sangat sedih karena cahayanya yang sangat kuat langsung masuk menuju bumi. Akibatnya, sinarnya membuat beberapa pohon menjadi kerdil, manusia menderita penyakit. Ia berkata bahwa pelindung bumi telah rusak akibat banyaknya asap hitam dan banyaknya pepohonan yang ditebang. Hal itu menyebabkan pelindung bumi rusak, dan tak mampu menyaring sinarnya yang kuat.
Ketika bumi dan matahari sedang menikmati istirahat mereka, aku merenung. Ternyata kedua sahabatku tak seperti yang kukira. Dalam hati aku bersyukur bahwa aku masih seperti yang telah berlalu.
Kini kami bertiga mempunyai kesedihan masing-masing. Beberapa waktu lalu, sebuah benda terbang dari bumi, dan kemudian menurunkan sebuah benda beroda. Benda itu mengelilingiku. Tak lama setelah itu, manusia! Manusia turun dari benda seperti kapsul, kemudian menusuk tubuhku dengan tiang yang di pucuknya terdapat bendera. Aku tak menyangka akan hal itu…
Aphrodite, yang di masa lampau sangat dikagumi, kini telah ternoda. Cahayanya tak lagi murni dan suci…

Kamis, 25 Februari 2010

Kisah Burung

Suara gaduh terdengar dari kedalaman hutan yang selama berpuluh-puluh tahun tak seorangpun berani memasukinya. Sekedar memunguti ranting-ranting di bibir hutan pun, orang-orang akan berpikir berkali-kali sebelum membulatkan tekadnya itu. Jikalau beranipun, pada malam harinya orang tersebut tak akan bisa tidur nyenyak.
Memang, reputasi hutan tersebut sangat tersohor. Sejak jaman dahulu kala ketika tanah jawa masih berganti-ganti penguasa, dari yang tertua Salakanagara sampai yang termuda Mataram Islam, hutan yang membentang luas di sebagian besar wilayah pulau jawa itu, merupakan sarang dari berbagai macam binatang buas, segala jenis penjahat – dari garong, begal, kecu, perampok – sampai tempat yang nyaman bagi lelembut.
Pepohonan raksasa berumur ratusan tahun masih banyak ditemui. Pohon-pohon itu seperti kepala suku yang memimpin pepohonan lain yang lebih kecil, mengayomi tatkala matahari bersinar terlalu terik, mencegah air hujan agar tak menggenangi tanah, sampai berdiri paling gagah ketika badai menerpa, melindungi yang lebih kecil agar tak terbawa angin. Ia juga menjadi tempat tinggal bagi bermacam-macam hewan yang membangun sarang pada ranting-rantingnya.
***
Truk-truk besar silih berganti keluar masuk hutan angker itu. Mereka mengangkut kayu-kayu gelondongan. Hutan yang dulu setiap pagi selalu tertutup kabut, kini tak hanya pagi namun sepanjang hari, selalu berselimutkan asap hitam beracun. Hanya karena masih banyaknya pepohonanlah, asap beracun tersebut masih dapat dinetralkan. Manusia-manusia kini tak takut dengan segala binatang-binatang buas, ataupun penjahat yang bersembunyi di hutan itu karena di tangan mereka terdapat sebuah senapan yang mampu mereka gunakan sewaktu-waktu.
Dahulu, orang-orang akan diam tak bergerak ketika mereka melihat seekor harimau, dan mereka akan bergumam, “Wah, kyaine sedang lewat”, sembari berharap harimau itu akan berlalu begitu saja. Atau, jika mereka melihat ular, mereka akan bergumam, “Wah, ada oyot”. Tetapi mereka kini lebih santai, hanya menggerakkan jari telunjuk, mereka mampu membunuh. Benar-benar hebat!
Deru mesin-mesin terdengar sangat keras, mengalahkan raungan harimau-harimau yang dahulu adalah penguasa tunggal di hutan. Postur truk-truk yang besar mengalahkan gajah-gajah yang dahulu merupakan hewan terbesar di hutan. Dan seketika, sebuah jalan telah terbentuk sebagai akses ke dalam hutan, yang selanjutnya truk-truk besar itu akan keluar membawa gelondongan kayu-kayu besar di punggung mereka.
Pepohonan besar yang semakin menipis membuat penguasa langit, elang yang perkasa kehilangan tempat tinggal mereka, dan sulit mencari pengganti yang sesuai. Orang-orang yang membawa kayu-kayu tak mau meninggalkan benda-benda yang menghasilkan keuntungan. Mereka membawa emas putih atau gading gajah yang bernilai sangat tinggi. Juga kulit harimau loreng, yang dulu mereka takuti. Lambat laun populasi hewan-hewan semakin berkurang, ekosistem hutan itu menjadi berantakan. Seekor burung kecil memandang desanya dengan prihatin. Ia kehilangan sarang yang ia buat di ranting pohon randu alas, yang telah ditebang oleh manusia. Ia hanya terbang kesana-kemari, mencari makan, kemudian tidur di sembarang tempat. Ketika hujan, bulunya basah kuyup yang kemudian membuatnya menggigil…

Lama-kelamaan manusia-manusia itu semakin beringas. Mereka tak hanya memburu gajah, harimau, namun mulai membunuhi kijang, yang mereka ambil tanduk mereka yang indah. Dalam sekejap hutan lebat itu telah terlihat seperti lapangan ajang pembantaian. Pepohonan dan hewan-hewan dieksekusi tanpa diberi hak untuk membela diri. Tak ada pepohonan setinggi satu atau dua meter, hanya rerumputan yang susah payah tumbuh setelah tertimbun tanah. Tak ada kyai yang lewat atau oyot lagi, semua telah habis. Dari yang terbesar sampai terkecil, semua telah menghilang.
Si burung yang kehilangan sarang, perlahan terbang di atas truk-truk dan berkali-kali melintas di atas orang-orang bersenjata itu. Ia berharap sebuah peluru menembus tubuhnya, agar ia bisa berkumpul dengan kawan-kawannya yang telah mati. Namun ia tak berhasil menggoda orang-orang itu. Ia terlalu kecil untuk dianggap sebagai ancaman. Ia terlalu buruk untuk dijadikan sebagai barang dagangan. Usahanya tak membuahkan hasil apapun. Kemudian ia hinggap di sebuah pohon kecil, salah satu yang masih tersisa. Dengan pandangan penuh kebencian ia menatap orang-orang itu.
Nyala mesin truk yang tiba-tiba membuatnya kaget dan terbang menjauhi tempat itu. Ia kesulitan bernafas ketika segumpal asap hitam menerpa tubuhnya dan masuk ke dalam tubuhnya. Ia terbang semakin tinggi, berharap dapat menemukan udara yang lebih segar.

Secara tak sengaja, burung kecil itu melihat sebuah pohon yang masih segar. Karena berada di seberang sungai, pohon itu selamat dari amukan gergaji mesin dan manusia-manusia tamak yang tak pernah puas dengan apa yang telah mereka dapatkan. Dengan cepat ia menuju ke pohon segar itu, hinggap dan menghirup udara segar yang telah lama ia harapkan. Kemudian ia segera mengumpulkan ranting-ranting kecil dan mulai membuat sarang baru. Dan di tempat itu ia mempunyai tetangga, si kumbang, tupai, dan berbagai jenis serangga lain. Tak membutuhkan waktu lama baginya menyelesaikan sarangnya.
Malam harinya burung kecil itu tidur di sarang barunya yang hangat. Ia tidur nyenyak, sampai-sampai hujan yang sangat lebat pun tak ia hiraukan.
Hujan yang sangat lebat itu membawa banjir bandang yang sangat besar. Ketika melewati hutan gundul itu, beberapa truk yang masih tertinggal hanyut terbawa arus. Banjir tersebut menenggelamkan apa yang ada di depannya, termasuk burung kecil yang baru saja mempunyai rumah dan tetangga baru…

Kisah Air

Sudah saatnya musim berpindah menuju musim penghujan, namun kenyataan berkata lain: sinar matahari yang hangat tetap menyapa bumi setiap saat. Sementara kolam-kolam air sudah tidak sabar menunggu pasokan air melimpah yang mampu memenuhi rongga-rongga mereka. Kolam air yang sebelumnya masih cukup untuk membasahi sampai lutut manusia dewasa, kini hanya mampu menyentuh mata kaki. Ruang gerak kuman-kuman, plankton, kepiting, udang, dan ikan-ikan kecil semakin terbatas. Walaupun mereka mengalami masa-masa sulit, namun mereka tetap bersyukur, setidaknya masih ada ruang gerak untuk mereka. Ikan-ikan yang lebih besar telah berubah menjadi fosil karena tak cukup air untuk mereka.
Malam itu, doa makhluk-makhluk air dikabulkan oleh Tuhan. Matahari yang begitu terik memanggang bumi, menguapkan air-air dari lautan dan dari sumber-sumber air lain yang masih menggenang. Segumpal awan hitam pekat melayang di langit, membawa butiran air yang telah ditunggu oleh segenap makhluk di bumi. Diawali dengan guntur dan petir yang bersahutan, hujan perlahan-lahan turun. Kemudian dengan cepat berubah menjadi hujan yang sangat lebat untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Makhluk-makhluk di bumi bersuka cita, dari ikan, plankton, kepiting hingga rumput kecil yang pada hari sebelumnya telah merasa bahwa malam ini adalah malam terakhir baginya berada di bumi dan menikmati sinar matahari yang begitu terik. Bau tanah yang tersentuh oleh air hujan untuk pertama kali benar-benar membuat makhluk hidup merasa nyaman.
Perasaan suka cita yang ditunjukkan oleh semua makhluk di bumi ternyata tidak ditunjukkan oleh manusia. Pada awalnya mereka menyambutnya dengan perasaan yang sangat gembira, melebihi makhluk manapun di bumi. Namun, hujan yang tak kunjung berhenti membuat mereka was-was. Saat ini lingkungan mereka sudah tak seperti sedia kala. Pohon-pohon yang berdiri tak mampu menyerap air, karena pohon-pohon yang menjulang tersebut terbuat dari besi, beton, dan semen. Begitu juga alas mereka, telah berubah menjadi tanah hitam yang sangat keras yang tak mampu menyerap air.
Manusia-manusia yang hidup di peradaban yang modern tersebut hanya bisa berharap bahwa hujan akan segera berhenti. Namun harapan tinggal harapan, karena awan hitam yang menggantung di langit masih mempunyai stok air yang melimpah.
Hasilnya, banjir pun terjadi. Namun terjadi perbedaan pada banjir di desa dan di kota. Banjir di desa disambut dengan gembira oleh para makhluk hidup di sekitar sungai ataupun kolam-kolam. Banjir yang datang dari hulu sungai mengalir tetap pada jalurnya, yang telah terbentuk secara alami sejak bertahun-tahun lampau, sehingga tak mengganggu manusia yang ada di sekitarnya. Walaupun airnya kotor karena bercampur dengan lumpur, namun air kotor tersebut mampu membawa kehidupan kembali di habitat sungai dan kolam, serta memberi pasokan makanan pada tumbuh-tumbuhan. Banjir di kota tidaklah seperti itu. Walaupun airnya bening, namun membawa kesusahan bagi manusia-manusia, karena banjir tersebut tidak mengalir. Menggenangi seluruh kota berdasarkan jalur aspal yang ada di seluruh penjuru kota. Motor, mobil, dan kendaraan lain tak bisa melaju. Jalanan yang seharusnya milik kendaraan-kendaraan bermotor, telah diambil alih oleh alam.
Walaupun akhirnya hujan tersebut berhenti, namun cukup memberi harapan pada makhluk-makhluk yang berharap akan datangnya hujan. Ikan-ikan kecil beserta makhluk lain yang menghuni kolam kini bisa berenang dengan bebas, tak perlu memikirkan apapun. Banjir pun mulai surut, dan mengendapkan material-material yang turut terbawa pada saat air menempuh perjalanan menuju hilir. Dan dengan berakhirnya proses pengendapan tersebut, air berubah menjadi biru, pantulan dari langit yang cerah. Namun, banjir di tempat lain belumlah surut, karena sistem drainase yang buruk menyebabkan air menggenang, menjadi media bagi nyamuk-nyamuk untuk menetaskan telur mereka, yang kemudian menyebarkan wabah penyakit bagi manusia.
Kisah air di dua tempat yang berbeda dalam satu dunia yang sama.