Senin, 01 Maret 2010

Kisah Bulan

Orang-orang memanggilku Bulan. Sedangkan orang-orang pada masa lampau menganggapku sebagai Dewi Kecantikan, atau Aphrodite. Memang, ketika langit malam tak tertutup oleh mendung, diriku laksana sang Ratu dengan dikelilingi bintang-bintang kecil yang juga memancarkan cahaya mereka yang manis.
Dahulu aku sering melihat penduduk bumi berbaring di rerumputan yang hangat - sisa-sisa panas dari pancaran sinar sang Pangeranku – sembari mengagumi keindahan pancaran cahayaku yang lembut. Mereka menjulurkan tangannya, seakan-akan ingin menggenggamku dan mendekatkanku ke dada mereka.
Ketika Bulan Purnama – sebutan bagiku ketika diriku berujud lingkaran sempurna – anak-anak sering bermain di bawah basuhan cahayaku. Mereka tak mempedulikan gelapnya malam, karena cahayaku membantu mereka melihat apa yang ada di sekitar mereka.
Pada masa ketika kami – Bumi, matahari, dan diriku – masih muda, kami merupakan sahabat yang dekat, walaupun terpisah beberapa juta jarak. Bumi yang berwarna biru dan hijau, melambangkan kehidupan dan keindahan. Matahari yang merah, melambangkan keberanian. Sedangkan diriku, Bulan yang berwarna kuning gading, melambangkan cinta kasih. Kadang aku iri dengan bumi, yang mampu menumbuhkan segala jenis pepohonan, dengan segala isinya. Kadang akupun iri dengan Matahari, yang dengan sangat kuat memancarkan sinarnya yang membantu pepohonan di bumi berkembang. Saat itu aku merasa bahwa diriku hanyalah suatu unsur yang tak berguna.
Tapi kini aku tak lagi iri pada mereka. Suatu kali, Bumi berkata padaku bahwa ia merasa sedih. Ketika kutanyakan sebabnya, sahabatku itu menjawab bahwa manusia yang seharusnya menjaga kelestarian bumi, malah menjarah segala isi bumi dengan rakus. Mereka menebangi pohon-pohon, menimbun sawah, kemudian menggantinya dengan bangunan besi dan beton. Tak ketinggalan, lautan pun bernasib sama. Ketika air mata bumi mengalir dari langit menuju kulit bumi, ia tak mampu menumbuhkan pohon-pohon besar itu lagi. Yang tersisa hanyalah rumput. Namun tak berlangsung lama, sebuah benda cair berwarna hitam menutupi permukaan bumi. Panjang bagaikan sungai. Sungai hitam.
Suatu ketika Matahari pun menceritakan kesedihannya. Ia bercerita bahwa ia sangat sedih karena cahayanya yang sangat kuat langsung masuk menuju bumi. Akibatnya, sinarnya membuat beberapa pohon menjadi kerdil, manusia menderita penyakit. Ia berkata bahwa pelindung bumi telah rusak akibat banyaknya asap hitam dan banyaknya pepohonan yang ditebang. Hal itu menyebabkan pelindung bumi rusak, dan tak mampu menyaring sinarnya yang kuat.
Ketika bumi dan matahari sedang menikmati istirahat mereka, aku merenung. Ternyata kedua sahabatku tak seperti yang kukira. Dalam hati aku bersyukur bahwa aku masih seperti yang telah berlalu.
Kini kami bertiga mempunyai kesedihan masing-masing. Beberapa waktu lalu, sebuah benda terbang dari bumi, dan kemudian menurunkan sebuah benda beroda. Benda itu mengelilingiku. Tak lama setelah itu, manusia! Manusia turun dari benda seperti kapsul, kemudian menusuk tubuhku dengan tiang yang di pucuknya terdapat bendera. Aku tak menyangka akan hal itu…
Aphrodite, yang di masa lampau sangat dikagumi, kini telah ternoda. Cahayanya tak lagi murni dan suci…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar